PENGARUH IKLIM TERHADAP KEBIJAKAN SUATU NEGARA

Ada hubungan secara langsung maupun tidak langsung antara iklim dan kebijakan politik suatu Negara. Secara tidak langsung, iklim dapat mempengaruhi karakter dan watak suatu Negara yang akan terbawa pada pengambilan kebijakan luar negerinya. Secara langsung, iklim dapat berpengaruh terhadap kebijakan strategis dalam pertahanan keamanan. Jika ada perubahan iklim yang mendadak, pasti akan memunculkan perubahan kebijakan strategis dalam pertahanan keamanan.
Para filsafat ilmu politik memandang bahwa kondisi iklim dari suatu negara sangat luas berpengaruh terhadap aktifitas politik dan lembaganya. Di negara barat Aristotle merupakan orang pertama yang menyebarkan pandangan ini.
Dimasa modern, Bodin, Montesquieu, Buckle, dan Rousseau juga memberikan pandangan yang sama atas pengaruh fisik lingkungan terhadap lembaga sosial dan politik.
Mostesquieu memberikan perhatian khusus kepada iklim dan kesuburan tanah. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan berpolitik telah lazim didalam kedinginan suasana, dimana perbudakan merupakan kehangatan.
Daerah- daerah pergunungan dapat mendatangkan kemerdekaan, dimana dataran yang subur dapat melahirkan kezaliman. Besarnya pembagian geografis dari Asia menghasilkan kelaliman, persatuan kecil dari Eropa pula yang menggembangkan kebebasan.Masyarakat diperpulauan lebih cenderung terhadap lembaga demokrasi daripada Masyarakat yang tinggal dibenua.
Demikian pula Rousseau berpegang bahwa iklim yang panas mendatangkan kezaliman, sedangkan suasana yang dingin mengarah kepada kebiadaban dan orang- orang yang demokrat merupakan satu kunci menuju pemerintahan yang ideal.
Buckle percaya bahwa aktifitas dari satu kelompok atau oknum tidak hanya dikuasai dengan kemauan yang bebas, akan tetapi juga tetap ditentukan oleh fisik lingkungan khususnya dari segi makanan, iklim, dan kondisi umum geografis.
Mutlak bahwa pada masa purbakala sampai abad pertengahan penggunaan geografis sangat kuat berpengaruh dalam lembaga perpolitikan. Sejarah dari Yunani, Inggris, India, Afghanistan, Swizerland dan lain- lain, merupakan saksi lahirnya fakta tersebut.
Akan tetapi pengaruh geografis terhadap ilmu politik telah berkurang dengan lajunya promosi teknologi. Selama 2500 sebelumnya tidak ada perubahan yang luar biasa dalam kondisi fisik Eropa dan Asia, akan tetapi bermacam negara dari kedua benua tersebut telah melewati beberapa tingkat dari perkembangan politik. Contohnya; pemerintahan kerajaan telah tumbuh dan subur diIndia selama 1000 tahun sebelum kemerdekaan, akan tetapi setelah negara berdaulat tipe Republik Demokrasi dengan segera terbentuk.
Demikian pula dengan Russia, China, Hongaria dan Polandia negara tersebut telah mengambil bentuk sosialis sebagai form pemerintahan, walaupun kondisi geografis mereka sama seperti sebelumnya.
Perubahan iklim adalah isu politik. Inti dari masalah perubahan iklim adalah politik. Politik global telah menciptakan kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan anatara manusia yang satu dengan manusia yang lain, antara Negara yang satu dengan Negara yang lain.
System pasar gagal mengakomodasi masalah lingkungan sehingga proses ekonomi meninggalkan masalah serius, seperti penipisan lapisan ozon, kehancuran keragaman hayati, dan perubahan iklim, serta membuat semakin memburuknya situasi kemiskinan di Negara-negara berkembang.
Resiko akibat pemanasan global berbeda-beda. Tetapi kenaikan suhu dua derajat celcius adalah bencana bagi Negara berkembang. Negara-negara pulau kecil, seperti maladewa, terancam tenggelam kalau permukan laut naik. Sementara Negara maju seperti belanda letaknya di bawah permukaan laut, dapat bertahan karena memiliki teknologi.
Negara maju tidak memenuhi target protocol Kyoto. Antara tahun 1994 dan 2004 jumlah emisi karbon dioksida di Negara maju, kecuali rusia, polandia, rusia, naik 88 %. Mereka meminta Negara berkembang juga mengurangi emisinya tanpa ahli teknologi dan pendanaan.
Rintangan besar dalam kerjasama global untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, adalah kesenjangan tingkat pendapatan, sumber daya financial, perdagangan, teknologi, control dan hak voting di lembaga-lembaga multi lateral seperti bank dunia, Dana Moneter Internasional, organisasi perdagangan dunia (WTO), serta kurangnya kepatuhan pada demokrasi multilateralisme.
Indonesia adalah contoh negeri yang telah dan sedang menjadi korban perubahan iklim. Banyak negara-negara berkembang mengalami situasi yang sama. Siapa yang harus mengakhiri penderitaan negeri dan warga? Amat jelas, dibutuhkan sejumlah upaya untuuk merekonstruksi, diluar hanya sekedar adaptasi. Ini adalah isu mengenai pembangunan dan hak asasi manusia, bukan sekedar derma atau bantuan. Jawaban atas pertanyaan ini adalah tindakan negara-negara yang memiliki tanggung jawab historis dan terus menerus mengemisi gas rumah kaca dan kapasitas dengan kekayaan yang cukup.
Isu yang penting adalah bagaimana kita bisa menemukan jalan pembangunan bagi negara berkembang yang tidak hanya mengurus perlindungan iklim, tetapi juga jalan untuk mengembangkan standard kehidupan warga dan mengentaskan kemiskinan dalam kerangka ekologi, dan mendorong kebijakan-kebijakan baru di bidang pertanian, industri, perdagangan, dan keuangan.

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Indonesia berkaitan dengan keadaan iklimnya.

Dibutuhkan kebijakan yang koheren pada aras internasional dan nasional. Dalam hubungannya dengan arus internasional, kebijakan koheren sangat krusial di dalam WTO, IMF, dan Bank Dunia dengan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan cultural sebagaimana juga mengintegrasikan rejim iklim dan pembangunan berkelanjutan. Koherensi, harus berada pada pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim bukan pada perdagangan. Hal ini pun mensyaratkan koherensi pada negara maju. Namun, bukannya memajukan koherensi, justru kebijakan merkantilis yan didorong lewat lembaga keuangan internasional, WTO, dan perjanjian perdagangan bebas untuk membuka ekonomi yang meremehkan pembangunan berkelanjutan.
Bagaimana mungkin negara-negara berkembang (selatan) memprioritaskan integrasi perubahan iklim pada kebijakan nasional ketika upaya-upaya internasional memperluas kemiskinan dan kesenjangan, termasuk penyingkiran petani-petani kecil, dan warga, dan hilangnya akses pada sumber daya alam untuk diserahkan kepada kekuatan korporasi asing? Apa yang disebut perdagangan bebas mendorong kerentanan iklim karena warga miskin tidak memiliki sumberdaya untuk resiliensi dan kapasitas untuk beradaptasi terhadap perubahan. .
Harus ada upaya untuk menyelesaikan utang najis di Negara berkembang. pembayaran utang-utang ini telah sekian lama dilakukan melalui perusakan sumberdaya alam dan sistem pendukung sosial, menyiskan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.
Lebih jauh lagi, bagi negara-negara berkembang, untuk mengembangkan jalur mitigasi lewat teknologi yang bersahabat dengan iklim mensyaratkan perubahan dimana transfer teknologi diatur dan diurus. Banyak di antara kita di selatan pecaya tidak diperlukannya persayaratan ketat yang mengacu pada hak atas kekayaan intelektual yang memonopoli keuntungan, jika kita ingin berhasil. Kita harus menemukan cara untuk menghancurkan tembok HAKI untuk mempercepat pengerahan teknologi bersih yang dapat dinikmati warga miskin.
Hal penting yang fundamental adalah mengubah gaya hidup terutama di Utara dan elit di selatan yang dibiayai oleh sumber daya alam negara selatan dan mayoritas warga miskin. Kita tidak dapat mempertahankan posisi dimana gaya hidup orang kaya tidak dinegosiasikan. Kita harus hidup lebih sederhana sehingga yang lain juga dapat hidup!
Dalam hubungannya dengan opsi teknologi untuk mitigasi, kami memiliki keberatan serius atas penggunaan nuklir, tanaman-tanaman hasil rekayasa genetik, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon serta agrofuel karena alasan lingkungan hidup dan keselamatan. Kami melihat hal-hal tersebut bukanlah jalan keluar mencegah pemanasan global, tetapi justru membahayakan lingkungan dan warga miskin. Meskipun pinjaman untuk sektor kehutanan berjumlah kurang dari 3 persen dari total pinjaman yang dikucurkan oleh Bank Dunia, issue-issue tentang kehutanan bisa dinyatakan sebagai telah membesar bersamaan dengan maraknya kontroversi tentang lingkungan yang bergolak di Bank Dunia.
Kritik dan tuduhan itu antara lain; Pinjaman Bank Dunia untuk produksi kayu dan pembangunan jalan dan rencana kolonisasi areal hutan telah menjadi penyebab utama penggundulan hutan dan mengakibatkan dampak yang merugikan bagi masyarakat yang menetap di dalamnya; dan Program penyesuaian struktural dan kebijakan ekonomi makro yang didukung sepenuhnya oleh Bank Dunia telah memberikan akibat langsung pada pelonjakan ekspor kayu gelondongan dan melemahnya kapasitas regulasi pemerintah.
Manakala Bank Dunia mencoba menggunakan pengaruh positifnya pada manajemen hutan di negara-negara peminjam, hal ini tidak membawa sukses karena kepentingan sempit pihak pemerintah dan sektor swasta. Pengalaman Bank Dunia di Indonesia telah memberikan pelajaran yang sangat berharga; setelah 2 proyek kehutanan disetujui oleh Bank Dunia, Menteri Kehutanan menolak untuk pinjaman lagi, dan dengan menggunakan dana Fasilitasi Lingkungan Global (GEF), Bank Dunia berupaya mencabut HPH-HPH di hutan Sumatra -yang justru sangat penting karena kekayaan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya–, dan ternyata tidak berhasil. Analisa oleh Departemen Evaluasi Operasi Bank Dunia pada tahun 1994 atas pengalaman persyaratan pinjaman di sektor kehutanan, menemukan bukti-bukti yang cukup atas ketidakpatuhan negara peminjam pada syarat-syarat pinjaman yang telah disepakati.
Jadi, pertumbuhan dan perkembangan politik suatu negara sangat dipengaruhi oleh keadaan iklimnya.

BacA jUgA iNi



Category:

0 comments:

Post a Comment